Sabtu, 24 Desember 2016

Karya Ilmiah Kerangka Karya Ilmiah

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan kami, semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar lebih baik lagi dari sebelumnya.
Tak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing atas bimbingan, dorongan dan ilmu yang telah diberikan kepada kami. Sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan insya Allah sesuai yang kami harapkan. Dan kami ucapkan terimakasih pula kepada rekan-rekan dan semua pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini bisa memberikan sumbang pemikiran sekaligus pengetahuan bagi kita semuanya. Amin.

                                                                              Muara Bulian, 08 Oktober 2016

                                                                        Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i   
DAFTAR ISI................................................................................................ ii  
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................... 1  
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 1  
C.     Tujuan ................................................................................................ 2  
BAB II  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Karya Ilmiah..................................................................... 3  
B.     Penggunaan Ragam Ilmiah................................................................. 3  
C.     Asas-asas Penyusunan Gagasan dalam Karya Ilmiah........................ 4  
D.    Teknik Mengatur Perwajahan Karangan............................................ 6  
E.     Aspek Penalaran dalam Karya Ilmiah................................................ 8  
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan......................................................................................... 11
B.     Saran .................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Karya ilmiah merupakan hasil tulisan yang menuruti suatu aturan tertentu. Aturan tersebut  biasanya merupakan suatu persyaratan tata tulis yang telah dilakukan oleh masyarakat akademik. Secara umum, proses penulisan karya ilmiah dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu: tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap perbaikan.
 Sebagai hasil penelitian atau kegiatan ilmiah setiap karangan ilmiah mengandung komponen adanya masalah yang menjadi topik karangan ilmiah itu. Adanya tujuan penelitian, metode penelitian, teori yang dianut, objek penelitian, instrumen yang digunakan, dan adanya hasil penelitian yang diperoleh. Setelah kaidah ditemukan dan dirumuskan, kegiatan penelitian harus diwujudkan dalam bentuk laporan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian karya ilmiah?
2.      Bagaimana penggunaan ragam ilmiah?
3.      Bagaimana asas-asas penyusunan gagasan dalam karya ilmiah?
4.      Bagaimana teknik mengatur perwajahan karangan?
5.      Bagaimana aspek penalaran dalam karangan ilmiah?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami pengertian karya ilmiah.
2.      Untuk mengetahui dan memahami penggunaan ragam ilmiah.
3.      Untuk mengetahui dan memahami asas-asas penyusunan gagasan dalam karya ilmiah.
4.      Untuk mengetahui dan memahami teknik mengatur perwajahan karangan.
5.      Untuk mengetahui dan memahami aspek penalaran dalam karangan ilmiah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Karya Ilmiah
Karya ilmiah merupakan karya tulis yang menyajikan gagasan, deskripsi atau pemecahan masalah secara sistematis, objektif dan jujur, dengan menggunakan bahasa baku, serta didukung oleh fakta, teori atau bukti-bukti empirik. Karya ilmiah merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan suatu pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti.[1]
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa karya ilmiah adalah laporan tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.[2]

B.     Penggunaan Ragam Ilmiah
Penulisan karya ilmiah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas, tepat, formal dan lugas. Kejelasan dan ketepatan isi dapat diwujudkan dengan menggunakan kata dan istilah yang jelas, tepat, tidak berbelit-belit dan struktur paragraf yang runtut.
Kelugasan dan keformalan gaya bahasa diwujudkan dengan menggunakan kalimat pasif, kata-kata yang tidak emotif dan tidak berbunga-bunga. Hindarilah penggunaan kata seperti saya atau kita. Jika terpaksa menyebutkan kegiatan yang dilakukan oleh penulis sendiri istilah yang dipakai bukan kami atau saya, melainkan penulis atau peneliti. Namun, istilah penulis atau peneliti hendaknya digunakan seminimal mungkin.
Skripsi yang mengikuti paradigma positivistik wajib ditulis dengan ragam bahasa ilmiah, tidak menggunakan ragam bahasa sastra, orasi, daerah, pasar, populer dan sejenisnya. Dalam ragam bahasa ilmiah positivistik berlaku ketentuan-ketentuan antara lain: baku, logis, terukur, tepat, denotatif, efektif, terjalin kesinambungan urutan serta bahasa yang baik dan benar.[3]

C.    Asas-asas Penyusunan Gagasan dalam Karya Ilmiah
1.      Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Kejelasan itu  tidak saja berarti mudah dipahami, mudah dibaca, tetapi juga harus tidak memberi ruang untuk disalahtafsirkan, tidak  boleh bersifat sama-samar, kabur dan tidak boleh ada di wilayah abu-abu. Kejelasan di dalam karangan ilmiah itu ditopang oleh hal-hal berikut: 
a.         Pemakaian bentuk kebahasaan yang lebih dikenal daripada bentuk kebahasan yang masih harus dicari-cari dulu maknanya, bahkan oleh penulisnya.
b.        Pemakaian kata-kata yang pendek, ringkas, tajam, lugas, daripada kata-kata yang berbelit, panjang, rancu dan boros (verbose).
c.         Pemakaian kata-kata dalam bahasa sendiri daripada kata-kata dalam bahasa asing.
2.      Ketepatan (accuracy)
Karangan ilmiah menjujung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan cara penyajian hasil penelitian itu haruslah tepat/akurat. Supaya karangan ilmiah menjadi sungguh-sungguh akurat, penulis/peneliti harus sangat cermat, teliti, tidak bleh sembrono, atau ‘main-main dengan ilmu’.
Dalam penyampaiannya di dalam karangan ilmiah itu harus terwadahi butir-butir gagasan dengan kecocokan sepenuhnya seperti  yang dimaksudkan oleh peneliti/penulisnya. Kualifikasi demikian itulah yang dimaksud dengan istilah ‘efektif-‘sangkil’.
3.      Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Karangan yang tebalnya 500 halaman dapat dikatakan ringkas sejauh di dalamnya tidak terdapat bentuk-bentuk kebahasaan yang bertele-tele, kalimat-kalimat yang bertumpukan (running-on sentences), dan sarat dengan kemubaziran dan kerancuan.
Jadi, karya ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata, tidak boleh mengulang-ulang ide yang telah diungkapakan, dan tidak berputar-putar dalam mengungkapkan maksud atau gagasan. Karangan ilmiah harus dibangun dari ide yang kaya dengan bahasa yang hemat dan sederhana. Jadi bukan sebaliknya, ide yang miskin namun dengan bahasa berbunga-bunga.
Karangan ilmiah harus ditulis dengan hati dan diteliti kembali, dibenahi dan diedit kembali dengan pikiran.
D.    Teknik Mengatur Perwajahan Karangan
Yang dimaksud dengan perwajahan adalah tata letak (lay out) unsur-unsur skripsi serta aturan penulisan unsur-unsur tersebut, yang berkaitan dengan segi keindahan dan estetika naskah. Tata letak dan penulisan unsur-unsur skripsi, tesis, atau disertasi harus diusahakan sabaik-baiknya agar skripsi, tesis, atau disertasi tersebut tampak rapi dan menarik. Dalam pembicaraan tentang perwajahan, dikemukakan secara ringkas mengenai masalah kertas pola ukuran dan penomoran.
1.      Kertas Pola Ukuran
Supaya tiap halaman ketikan  rapi, sebaiknya digunakan kertas pola ukuran. Kertas pola ukuran tersebut dipasang setiap kali mengganti halaman dan kertas pola ukuran itu harus ditaati agar hasil ketikan tampak rapi. Jika menggunakan komputer, program-program tertentu harus dikuasai terlebih dahulu agar format yang dikehendaki terwujud.
Pada umumnya garis pembatas pada kertas pola ukuran tersebut diatur dengan ukuran sebagai berikut:
a)        Pias (margin) atas 4 cm,
b)        Pias bawah 3 cm,
c)        Pias kiri 4 cm, dan
d)       Pias kanan 3 cm.
2.      Penomoran
a)      Angka yang digunakan
Angka untuk nomor yang lazim digunakan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau karangan ilmiah umumnya adalah angka Romawi kecil, angka Romawi besar, dan angka Arab. Angka Romawi kecil (i, ii, iii, iv, v) dipakai untuk menomori halaman judul, halaman yang bertajuk prakata, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar lampiran, dan daftar lain (jika ada). Angka Romawi besar (I, II, III, IV, V) digunakan untuk menomori tajuk bab pendahuluan, tajuk bab analisis, tajuk bab simpulan, misalnya BAB I PENDAHULUAN. Angka Arab (1, 2, 3, 4, dan seterusnya) digunakan untuk menomori halaman-halaman naskah mulai bab pendahuluan sampai dengan halaman terakhir dan untuk menomori nama-nama tabel, grafik, histogram, bagan, dan skema.
b)      Letak Penomoran
Halaman judul, daftar isi, daftar tabel, daftar grafik, daftar lampiran, menggunakan angka Romawi kecil yang diletakkan pada bagian bawah, tepat di tengah-tengah (simetris). Halaman yang bertajuk bab pendahuluan, bab analisis, bab simpulan, daftar pustaka/rujukan, indeks, dan lampiran, menggunakan angka Arab yang diletakkan pada bagian bawah, tepat di tengah-tengah (simetris). Halaman-halaman naskah lanjutan menggunakan angka Arab yang diletakkan pada bagian kanan atas.
c)      Penomoran Subbab
Subbab dan subsubbab dinomori dengan angka Arab sistem digital. Angka terakhir dalam digital ini tidak diberi titik (seperti 1.1, 1.2, 2.1, 1.1.2, 2.2.3, 3.2.1, dan seterusnya). Dalam hubungan ini, angka digital tidak lebih dari tiga angka (maksimal, misalnya 1.1.1, 1.4.3, 1.1.2, 3.2.2, 3.3.3, 4.4.1), sedangkan penomoran selanjutnya menggunakan a, b, c, kemudian 1), 2), 3), selanjutnya a), b), c), dan seterusnya.[4]
Artikel berbentuk feature dapat lebih dinikmati, kalau artikel tersebut diberi ilustrasi. Lebih-lebih bila isinya mengenai sesuatu keilmuan atau petunjuk teknis. Informasi akan menjenuhkan bila diungkapkan dengan kata, karena bertele-tele, lebih baik disajikan berupa gambar ilustrasi.
Ilustrasi memang gambar, tetapi tidak hanya gambar tangan yang dibuat dengan pensil, ballpen atau tinta Cina saja, melainkan dapat juga berupa foto jepretan lensa, gambar pandangan pancungan, peta, denah, bagan dan diagram.[5]
E.     Aspek Penalaran dalam Karya Ilmiah
Suatu karangan sesederhana apapun akan mencerminkan kualitas penalaran seseorang. Penalaran itu akan tampak dalam pola pikir penyusuan karangan itu sendiri. Penalaran dalam suatu karangan ilmiah mencakup 5 aspek. Kelima aspek tersebut adalah:
1.    Aspek Keterkaitan
Aspek keterkaitan adalah hubungan antar bagian yang satu dengan yang lain dalam suatu karangan. Artinya, bagian-bagian dalam karangan ilmiah harus berkaitan satu sama lain. Pada pendahuluan misalnya, antara latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan  dan manfaat harus berkaitan. Rumusan masalah juga harus berkaitan dengan bagian landasan teori, pembahasan, dan harus berkaitan juga dengan kesimpulan.
2.    Aspek Urutan
Aspek urutan adalah pola urutan tentang suatu yang harus didahulukan atau ditampilkan kemudian (dari hal yang paling mendasar ke hal yang bersifat pengembangan). Suatu karangan ilmiah harus mengikuti urutan pola pikir tertentu. Pada bagian Pendahuluan, dipaparkan dasar-dasar berpikir secara umum. Landasan teori merupakan paparan kerangka analisis yang akan dipakai untuk membahas. Baru setelah itu persoalan dibahas secara detail dan lengkap. Di akhir pembahasan disajikan kesimpulan atas pembahasan sekaligus sebagai penutup karangan ilmiah.
3.    Aspek Argumentasi
Yaitu bagaimana hubungan bagian yang menyatakan fakta, analisis terhadap fakta, pembuktian suatu pernyataan, dan kesimpulan dari hal yang telah dibuktikan. Hampir sebagian besar isi karangan ilmiah menyajikan argumen-argumen mengapa masalah tersebut perlu dibahas (pendahuluan), pendapat-pendapat atau temuan-temuan dalam analisis harus memuat argumen-argumen yang lengkap dan mendalam.
4.    Aspek Teknik Penyusunan
Yaitu bagaimana pola penyusunan yang dipakai, apakah digunakan secara konsisten. Karangan ilmiah harus disusun dengan pola penyusunan tertentu, dan teknik ini bersifat baku dan universal. Untuk itu pemahaman terhadap teknik penyusunan karangan ilmiah merupakan syarat multak yang harus dipenuhi jika orang akan menyusun karangan ilmiah.
5.    Aspek Bahasa
Yaitu bagaimana penggunaan bahasa dalam karangan tersebut? baik dan benar, Baku. Karangan ilmiah disusun dengan bahasa yang baik, benar dan ilmiah. Penggunaan bahasa yang tidak tepat justru akan mengurangi kadar keilmiahan suatu karya sastra lebih-lebih untuk karangan ilmiah akademis.[6]










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Karya ilmiah adalah laporan tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.
2.      Penulisan karya ilmiah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas, tepat, formal dan lugas dengan menggunakan kata dan istilah yang jelas dan tepat, kalimat yang tidak berbelit-belit dan struktur paragraf yang runtut.
3.      Asas-asas penyusunan gagasan dalam karya ilmiah meliputi kejelasan, ketepatan dan keringkasan.
4.      Yang dimaksud dengan perwajahan adalah tata letak (lay out) yang berkaitan dengan segi keindahan dan estetika naskah. Dalam hal ini dikemukakan secara ringkas mengenai masalah kertas pola ukuran dan penomoran.
5.      Aspek-aspek penalaran dalam karya ilmiah meliputi aspek keterikatan, urutan, argumentasi, teknik penyusunan dan aspek bahasa.
B.     Saran
Dengan diselesaikannya makalah ini penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Selanjutnya penulis juga  mengharapkan kritik dan saran guna peningkatan kualitas dalam penulisan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA

Dalman. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Fauzi, Asep. “Penulisan Karya Ilmiah”. (http://asep-fauzi.blogspot.com/2011/12/makalah-tentang-penulisan-karya-ilmiah.html, diakses tanggal 20 November 2014).
Hartono. Bagaimana Menulis Tesis. Malang: UMM Press, 2009.
Mujianto, Gigit. Bahasa Indonesia. Malang: UMM Press, 2010.
Nurita.Konsep Penalaran Ilmiah dalam Penulisan Ilmiah”. (http://nurii-thaa.blogspot.com/2014/03/konsep-penalaran-ilmiah-dalam-penulisan.html, diakses tanggal 18 November  2014).
Rahardi, Kunjana. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Erlangga, 2009.
Revisi, Tim. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Kediri: Stain Press, 2009.
Soeseno, Slamet. Teknik Penulisan Imliah Populer. Jakarta: Gramedia, 1984.





[1] Dalman, Menulis Karya Ilmiah (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 5.
[2] Ibid., 9.
[3] Tim Revisi, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Kediri: Stain Press, 2009), 16-17.
[4] Asep Fauzi, “Penulisan Karya Ilmiah”, http://asep-fauzi.blogspot.com/2011/12/makalah-tentang-penulisan-karya-ilmiah.html, diakses tanggal 20 November 2014.
[5] Slamet Soeseno, Teknik Penulisan Imliah Populer (Jakarta: Gramedia, 1984), 90.
[6] Nurita,Konsep Penalaran Ilmiah dalam Penulisan Ilmiah”,  http://nurii-thaa.blogspot.com/2014/03/konsep-penalaran-ilmiah-dalam-penulisan.html, diakses tanggal 18 November  2014.

Makalah Kewarganegaraan Islam

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidyahnya sehingga Kita dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Dalam menyelesaikan makalah ini, ksmi berpegang teguh pada materi yang kami dapatkan dari beberapa sumber buku. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan dan Kewarganegaraan dengan dosen pembimbing Zulqarnain, S.Ag.,M.Hum, Ph,D.
Dalam hal ini kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalh ini masih banyak kekurangan. Dengan kerendahan hati dan keterbatasan ilmu, maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi tersempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Muara Bulian,   Desember 2016


Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C.   Tujuan........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.   Warga negara dalam Pasal UUD 1945................................................ 2
B.   Kewarganegaraan dan Kaum Kebangsaan Minoritas...................... 5
C.   Pandangan Islam..................................................................................... 9...........
a.   Hubungan Kerakyatan................................................................... 13
b.   Kaum Dzimi..................................................................................... 18
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN..................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pembahasan mengenai Agama dan negara merupakan hal yang menjadi topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi pilihan bagi warga negaranya, karena hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antara agama dan negara menjadi perdebatan di berbagai pihak lain.
Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah mempengaruhi berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra pertengahab negara berjalan dibawah otoritas agama dan pada abad pertengahan telah terjadi pemisahan antara agama dan negara.
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami permasalahan mengenai hubungan Agama dan Negara. Munculnya kaum-kaum yang menuntut pemerintah Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini.

B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana warga negara dalam pasal UUD?
2.    Bagaimana kewarganegaraan dan kebangsaan di kaum minoritas?
3.    Dan bagaimana pandangan Islam dalam kewarganegaraan?
C.   Tujuan
1.    Untuk mengetahui warga negara di dalam pasal UUD.
2.    Untuk mengetahui Apa itu kewarganegaraan dan kebangsaan di kaum minoritas.
3.    Untuk mengetahui Pandangan Islam dalam Kewarganegaraan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Warga negara dalam Pasal UUD 1945
Warga Negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya, yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai warga negara itu. memiliki domisili atau tempat tinggal tetap di suatu wilayah negara, yang dapat dibedakan menjadi warga negara asli dan warga negara asing (WNA).
Warga negara dapat diartikan orang-orang yang menjadi bagian dari suatu penduduk yang menjadi suatu Negara. Istilah seperti itu dahulu biasa disebut hamba atau kaula Negara. Karena  warga negara mengandung arti peserta anggota atau warga suatu negara.
Sesuai defenisi diatas AS Hikam pun memaparkan bahwa warga negara merupakan terjemahan dari Citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk Negara itu sendiri.
Koerniatmanto mendefenisikan warga negara dan anggota negara sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya.
Dalam penjelasan pasal UUD 1945 pasal 26 dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Beland, Perankan Cina perananakan Arab Dll, yang betempat tinggal di Indonesia mengakui Indonesia sebagai Tanah airnya dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Pasal 1. UU No 22 / 1958 dnyatakan bahwa warga negara RI adalah orang-orang yang berdasarkan perundangan-undangan atau perjanjian atau peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara RI.
Salah satu persyaratan diterima status sebuah negara adalah unsur negara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga lain.
Asas kewarganegaraan secara umum meliputi :
1.    Ius Sangunius adalah Penentuan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan atau hubungan darah.
Asas ini menetapkan sesorang memperoleh kewarganegaraan suatu negara apabila orang tuanya berstatus warga negara dari Negara tsb.
Apabila seseorang lahir di Indonesia tetapi orang tuanya berwarga negara asing, maka ia memperoleh status kewarganegaraan berdasarkan dari orangtuanya tsb.
2.    Ius Soli adalah penentuan status kewarganegaraan berdasarkan tempat atau daerah kelahiran seseorang.
Artinya: Apabila sesorang lahir dari suatu wilayah Negara maka ia berhak medapatkan status warga negara tersebut.
Dalam UU no 12 tahun 2006. Terkait dengan asas kewarganegaraan disana dijelaskan bahwa asas kewarganegaraan Indonesia meliputi :
1.    Asas Ius Sangunius (Low Of The Blood)
2.    Asas Ius Soli (Law Of Soil)
3.    Asas Kewarganegaraan Tunggal
4.    Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas

Cara Memperoleh Kewarganegaraan :
1.    Melalui Kelahiran
2.    Melalui Pengangkatan
3.    Melalui Pewarganegaraan
4.    Melalui Perkawinan
Beberapa Hak Warga Negara :
1.    Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
2.    Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan
3.    Hak untuk membantu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
4.    Hak untuk kelangsungan hidup
5.    Hak untuk mengembangkan diri
6.    Hak untuk memajukan diri
7.    Hak atas pengakkuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
8.    Hak unyuk mempunyai hak milik pribadi hak untuk hidup.
9.    Hak kebersamaan dengan kedudukannya didalam hukum (pasal 27 ayat 1)
10. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
11. Hak dan kewajiban negara untuk ikut serta dalam pembelaan Negara
12. Hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan dengan lisan dan tulisan
13. Hak warga negara yang berhubungan dengan HAM
14. Hak untuk memeluk suatu Agama
Kewajiban warga negara melekat pada :
1.    Membayar pajak sebagai kontrak utama antar negara dan warga
2.    Membela tanah air (pasal 27)
3.    Membela Pertahanan dan keamanan Negara
4.    Menghhormati Hak asasi Orang Lain
5.    Mematuhi pembatasan yang tertuang dalam peraturan
Berdasarkan UU NO 12 tahun 2006 warga negara Indonesia dinyatakn kehilangan Kewarganegaraan apabila :
1.    Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya
2.    Tidak menolak atau melepas kewarganegaraan lain sedangkan ia memiliki kesempatan untuk itu.
3.    Permohonan sendiri untuk menjadi warga negara lain pada saat usia 18 tahun atau telah Menikah.
4.    Masuk dalam dinas tentara asing tanpa seizin Presiden
5.    Secara sukarela bersumpah setia pada negara asing
6.    Ikut serta dalal pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan bernegara asing
7.    Memiliki paspor atau surat yang bersifat sama seperti paspor negara asing
8.    Bertempat tinggal diluar Indonesia selama 5 tahun.

B.   Kewarganegaraan dan Kaum Kebangsaan Minoritas
Konsep Kebangsaan Barat
Kebangsaan adalah konsep politik modern yang terkait erat dengan kewarganegaraan. Kebangsaan merupakan sebuah afiliasi atas tanah air tententu. Pembahasan tentang kebangsaan ini tidak lepas dari berdirinya negara-negara merdeka di Eropa. Banyak definisi terkait konsep kebangsaan ini, di antaranya: Kebangsaan adalah ikatan politik, hukum  dan spirit antara individu dan negara yang darinya lahir hak-hak dan kewajiban-kewajiban secara timbal-balik. Dengan demikian, timbal-balik kepentingan antara negara dan individu merupakan asas kebangsaan tanpa mengabaikan adanya rasa masionalisme yang mengikat negara dan individu, sebagaimana teori kebangsaan Anglo-Saxon, yaitu melakukan pelayanan timbal-balik.
Konsep kewarganegaraan tidak lepas dari konsep kebangsaan, sebab kebangsaan itu membedakan antara warga negara dengan warga asing. Seseorang yang telah memiliki kebangsaan disebut watga negara. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki kebangsaan disebut dengan warga asing.
Adapun terkait karakteristik hukum konsep kebangsaan Barat, sebagian berpendapat bahwa kebangsaan memiliki sifat kontrak yang lahir berdasarkan kehendak negara dan individu, yang dikenal dengan “kontrak sosial”. Hanya saja, dalam realitasnya pemikiran kontrak dalam kebangsaan ini bertentangan, khususnya terkait kebangsaan yang diberlakukan berdasarkan darah (jus sanguinis), tempat (jus soli) dan pernikahan dengan warga pribumi. Dengan demikian, kebangsaan bukan ikatan kontrak yang dibangun dari kesepakatan dua kehendak, sebab negara yang mengatur dan mencabut kebangsaan sesuai kepentingan tertingginya, serta situasi sosial, ekonomi dam politiknya. Dalam hal ini, ndividu tidak berhak memprotes atas hal itu. Dengan demikian, kebangsaan berdasarkan konsep Barat adalah terkait erat dengan kedaulatan negara. Dalam hal ini, kebangsaan tidak ada hubungannya dengan kontrak, sebab negara memberinya, dan individu hanya menerimanya.
Dari sini jelaslah bahwa konsep kebangsaan itu tidak lahir dari ideologi yang rasional, atau pemikiran manusia yang universal, melainkan lahir dari perkembangan khusus di negeri-negeri Eropa pada Abad Pertengahan, yang lahir sebagai respon atas semangat separatisme akibat dikuasai oleh rezim feodal Eropa. Pada periode berikutnya muncullah masionalisme negara-negara Eropa, yang kemudian fokus pada konsep kebangsaan sejak abad ke-18 M dengan lahirnya abab kapitalisme. Situasi politik, ekonomi dan sosial yang mewarnai Eropa memaksa untuk membuat konsep kebangsaan dalam kerangka perundang-undangan dan hukum di awal abad ke-19 M. guna menyempurnakan kebangsaan dengan karakter politik dam konstitusi yang menjadikan negara berhak memberi dan mencabut kebangsaan dari siapa saja yang dia kehendaki.
Konsep kebangsaan Barat ini menyebabkan maraknya penjajahan dan berbagai konflik internasional, yang paling terkenal adalah Perang Dunia I dan II. Bahkan pengadopsian sistem kebangsaan nasional ini telah menyebabkan hal-hal berikut:
1.      Mengokohkan permusuhan di antara penduduk melalui pembuatan berbagai batasan atas warga asing sekalipun mereka saudara seagama dan seakidah.
2.      Menancapkan pemikiran yang mementingkan diri sendiri dan menguasai orang lain.
3.      Menguatkan dominasi dan kontrol para penguasa atas masyarakat.
4.      Membuat dorongan kebangsaan menuju perpecahan, serta bangkitnya semangat separatisme di tengah-tengah masyarakat melalui apa yang disebut dengan hak penentuan nasib sendiri (haq taqrîr al-mashîr, self-determination).
Konsep Minoritas
Di antara konsep berbahaya yang dilahirkan dari ide kebangsaan dan kewarganegaraan adalah konsep minoritas. Konsep minoritas merupakan konsep yang keji dan jahat, yang digunakan oleh kaum kafir penjajah di dalam memasarkan konsep hak penentuan nasib sendiri (hak taqrîr al-mashîr, self-determination). Kaum kafir penjajah pada beberapa tahun terakhir begitu giat dengan serangan ganasnya terhadap Dunia Islam dengan mengobarkan fitnah hak penentuan nasib sendiri (hak taqrîr al-mashîr, self-determination) bagi kaum minoritas untuk membelah Dunia Islam. Untuk itu, bahaya konsep ini terhadap persatuan umat secara politis harus dipahami.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui kajian yang mencermati periode perkembangan konsep minoritas mendefinisikan bahwa minoritas adalah kumpulan individu yang hidup di suatu wilayah dan mereka berafiliasi pada ras, agama, bahasa dan adat yang khas, serta mereka disatukan oleh sebuah identitas yang berdasarkan satu atau lebih dari hal-hal khas tersebut, termasuk adanya penegasan pentingnya menambahkan sebuah unsur pada definisi minoritas, yaitu keinginan untuk menjaga identitas khas diri yang dimiliki.
Pada tahun 1994, Pusat Inisiatif Eropa (CEI) mengeluarkan undang-undang penjagaan hak-hak minoritas. Pada pasal I disebutkan: “Istilah nasional minoritas adalah kelompok yang jumlahnya kurang dari jumlah penduduk lainnya. Anggotanya adalah warga negara yang memiliki sesuatu yang khas seperti kesukuan, agama dan bahasa yang berbeda dari penduduk lainnya. Mereka memiliki keinginan untuk mempertahankan tradisi, budaya dan agama mereka.”
Di sini perlu diketahui bahaya dari ide kebangsaan, kewarganegaraan dan minoritas terhadap persatuan umat secara politik. Kaum kafir penjajah pada beberapa tahun terakhir begitu giat mengobarkan ide ini, khususnya setelah mereka mengetahui betul bahwa kaum Muslim hampir berhasil mewujudkan kerangka politik yang tercermin pada negara Khilafah. Sebelumnya, kaum kafir penjajah telah sukses menggunakan kartu minoritas ketika kaum kafir bekerja untuk merobek Daulah Utsmaniyah pada akhir abad ke-19, saat kaum kafir memberikan kelompok minoritas berbagai jenis bantuan dan dukungan, menciptakan kekacauan di negeri-negeri Balkan. Lalu negeri-negeri itu mampu melepaskan diri dari Daulah Utsmaniyah sebelum keruntuhannya.
Kaum kafir penjajah juga mengobarkan fitnah sektarian yang berdarah di Libanon sebagai pintu untuk mengintervensinya pada tahun 1861 M. Pada Perjanjian Lausanne yang ditandatangani di Lausanne, Swiss pada tanggal 24 Juli 1923, negara-negara penjajah—dengan  tujuan mengalahkan Daulah Utsmaniyah—telah merobek wilayah Daulah Utsmaniyah atas dasar nasionalisme, patriotisme, sektarianisme atau aliran untuk menjamin dominasi negara-negara kafir penjajah atas wilayah itu, serta memastikan wilayah tersebut tetap dalam keadaan lemah sehingga tidak memungkinkan lagi untuk bangkit.
Perlu diketahu bahwa Sultan Sulaiman al-Qanuni mengadakan perjanjian pada tahun 1535 dengan Francis I Raja Prancis yang memberikan otoritas kepada para konsul Prancis untuk mengadili orang-orang Prancis yang tinggal di Daulah Utsmaniyah, sebagai kaum minoritas. Setelah itu, Inggris, Austria dan lainnya juga menuntut otoritas yang sama untuk para konsulnya. Mereka pun mendapatkannya, yang waktu itu dikenal dengan “Undang-Undang Istimewa”. Semua tahu bahwa Daulah Utsmaniyah ada pada puncak kebesarannya. Namun, apa yang dilakukan ini bertentangan dengan syariah, karena kesalahan pemahaman Sultan, serta tidak adanya ulama, intelektual dan politisi yang mengingatkannya. Bahkan politik yang salah itu kemudian diikuti oleh para sultan berikutnya, sehingga itu menjadi bencana bagi Negara Islam sesudahnya. Sebab, hal itu telah membuka pintu intervensi negara-negara penjajah terhadap rakyat Negara Islam yang telah menjadi warga negara, khususnya umat Kristen. Saat itu kaum kafir penjajah mulai memprovokasi mereka agar melakukan pengrusakan, pemberontakan dan pembangkangan. Yang masih hangat dari pandangan kita adalah apa yang terjadi sekarang di Sudan, di Irak, serta sebelumnya di Pakistan dan Indonesia. Begitu juga, apa yang terjadi di Aljazair. Adapun Mesir adalah calon yang akan dibelah melalui konsep yang keji dan jahat ini, yaitu hak penentuan nasib sendiri (hak taqrîr al-mashîr, self-determination) bagi kaum minoritas.

C.   Pandangan Islam
Islam mengatur hubungan yang mengikat individu-individu dalam negara berdasarkan ikatan kerakyatan Islam. Orang-orang yang tinggal di dalam negara secara permanen adalah rakyat negara. Ikatan kerakyatan ini melampaui ikatan persaudaraan agama, juga melampaui ikatan politik di antara semua rakyat negara yang Muslim dan non-Muslim.
Kerangka politik Islam adalah Negara Islam (Darul Islam). Syariah Islam sebagai wahyu dari Allah SWT tidak khusus untuk kaum atau bangsa tertentu. Syariah Islam menetapkan sebuah konsep kerakyatan yang unik, berbeda dari konsep kebangsaan nasionalistik. Konsep kerakyatan Islam dibangun berdasarkan keterikatan pada Negara Islam yang bertujuan untuk menegakkan syariah Islam pada masyarakat, dan membuang semua bentuk diskriminasi di antara mereka. Siapa saja yang ridha dengan syariah Islam dan tunduk padanya, serta tinggal secara permanen dalam negara Islam, baik ia warga asli atau pendatang, Muslim atau non-Muslim, semuanya berhak mendapatkan kewarganegaraan dan mengemban identitasnya. Dengan demikian, konsep Islam berbeda dengan konsep Barat yang diskriminatif, karena membedakan warga asli dengan warga asing.
Islam mengharamkan kerakyatan itu dibangun berdasarkan pemikiran nasionalisme dan patriotisme. Bahkan Islam menjadikan hak kerakyatan ada pada individu itu sendiri, hanya dengan tinggal secara permanen di Negara Islam. Dengan demikian, kerakyatan adalah hak setiap orang, bukan pemberian negara, dan bukan karena kedaulatan. Kerakyatan itu adalah hak individu. Negara tidak memberi dan tidak pula mencabutnya, melainkan mengaturnya untuk menfasilitasi prosedur mendapatkannya.
Gambaran Islam terkait kerakyatan ini semakin kuat dengan pengkajian sejumlah konsep dan keyakinan Islam sebagai hukum syariah yang digali dari al-Quran dan as-Sunnah, serta Ijmak Sahabat dan Qiyas. Di antara konsep dengan landasan yang kuat, khususnya konsep kerakyatan dalam pemikiran Islam adalah:
1.        Negara Islam adalah negara dakwah yang bertujuan menerapkan syariah Islam di dalam negeri dan mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia.
2.        Syariah Islam mewajibkan kaum Muslim untuk hidup di dalam Negara Islam. Oleh karena itu, ketundukan seorang individu Muslim terhadap Negara Islam dan menjadi warga negaranya bukan sekadar hak semata melainkan kewajiban baginya.
3.        Islam mewajibkan kaum Muslim berhijrah dari darul kufur ke Darul Islam, dan menetap secara permanen di darul Islam. Menjadi warga negara bagi seorang Muslim yang berhijrah itu adalah wajib. Karena itu negara wajib membantu dirinya dalam melaksanakan kewajiban agamanya.
4.        Kerakyatan adalah hak manusia. Karena itu, Islam tidak membedakan antara kaum Muslim dan lainnya dalam memberikan kerakyatan ini. Sebab, Allah SWT mewajibkan penerapan syariah Islam kepada seluruh manusia. Ketika non-Muslim tinggal di Darul Islam, maka ini merupakan sarana terbesar untuk menyampaikan Islam kepada dia dan dia bisa melihat dengan mata telanjang penerapan hukum Islam dan keadilannya. Apabila dia telah mendapatkan kerakyatan dan tinggal secara permanen bersama kaum Muslim, serta ridha dengan penerapan hukum Islam padanya dengan menerima perjanjian dzimmah, maka semua kaum dzimmi dan kaum Muslim adalah rakyat Negara Islam, dan mereka memiliki kerakyatan negara Islam yang mengharus-kannya wajib terikat pada perjanjian dzimmahdengan tunduk terhadap otoritas negara. Islam menegaskan bahwa siapa saja di antara non-Muslim yang datang ke Negara Islam untuk mengetahui model kehidupan Islam, maka negara wajib memberi dia hak jaminan keamanan sementara (Lihat: QS at-Taubah [9]: 6).  Ini merupakan pintu yang bisa menghantarkan dirinya untuk mendapatkan kerakyatan dengan tinggal secara permanen, serta ridha dengan penerapan hukum Islam kepada dirinya. Sebab, Negara Islam adalah negara dakwah (Lihat: QS Saba’ [34] : 28).
5.        Kerakyatan Negara Islam hanya terikat dengan tinggalnya seseorang secara permanen di Darul Islam. Sekadar persaudaraan Islam saja di antara kaum Muslim tidak menyebabkan seseorang mendapatkan hak-hak politik jika kaum Muslim itu masih tinggal di luar darul Islam secara permanen. Dengan demikian, hak kerakyatan ditentukan oleh tinggalnya seseorang secara permanen. Sebab, Allah menggugurkan perlindungan dari orang yang tidak berhijrah ke Darul Islam (Lihat: QS al-Anfal [8]: 72). Hubungan Kerakyatan dengan Agama.
Melalui definisi Darul Islam (Negara Islam) jelaslah bahwa tidak ada hubungan antara kerakyatan/kewarganegaraan Negara Islam dengan agama atau keyakinan individu yang tinggal secara permanen. Ikatan kerakyatan/kewarganegaraan adalah perlindungan Negara Islam atas semua rakyatnya dengan menerapkan Islam kepada kaum Muslim dan non-Muslim. Hak kerakyatan negara bagi rakyatnya ditetapkan melalui baiat dan berhijrah, serta menaati Allah dan Rasul-Nya. Hal ini tampak jelas sekali dalam perjanjian Rasulullah dengan kaum Yahudi Madinah, dalam sebuah piagam yang dikenal dengan Shahîfah al-Madinah (piagam Madinah). Di dalam piagam ini ditetapkan kerakyatan dan kewarganegaraan bagi non-Muslim yang tinggal di Darul Islam:
1.          Bagi kaum Yahudi yang tinggal di Madinah dan mereka yang mengikuti kaum Mukmin berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan.
2.          Kaum Yahudi wajib turut memikul pengeluaran negara ketika terjadi peperangan.
3.          Keputusan ketika terjadi perselisihan dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah Saw.
Dengan demikian, syarat pemberian kewarganegaraan adalah tinggal secara permanen di Darul Islam dan tunduk pada hukum Islam.
Saat ini, ketika suara-suara kaum Muslim lantang di dunia Arab dan Islam menuntut pembebasan dan kemerdekaan dari rezim-rezim boneka yang zalim, kafir dan diktator, maka muncullah dari mereka yang telah diracuni dan diwarnai oleh budaya Barat—semisal para ulama, pemikir dan para tokoh beberapa gerakan Islam yang dalam Pemilu mereka dipilih oleh masyarakat karena mengusung simbol-simbol Islam—bahwa mustahil menyatukan umat Islam dan mustahil mendirikan Khilafah sebab adanya kaum minoritas yang mengklaim bahwa mereka akan kehilangan hak kewarganegaraan yang seharusnya sama sebagai warga negara di suatu negara. Padahal semua tahu, bahwa berabad-abad lamanya kaum Muslim dan non-Muslim hidup bersama di bawah naungan negara Khilafah. Sepanjang sejarah mereka, tidak ada seorang pun dari mereka yang mengadukan, mengeluhkan atau merasakan ketersiksaan hidup di bawah kasih sayang dan keadilan negara Khilafah.


a.    Hubungan Kerakyatan

KH Dr. Said Aqil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Perbincangan kami cukup menarik, mengenai konsep ‘kewarganegaraan’ di tengah umat Islam Indonesia.
“Untuk menjadi bangsa demokrasi yang kokoh dibutuhkan kewargaan dan kewarganegaraan yang bermutu. Partisipasi dalam pembangunan di segala bidang melalui musyawarah atau deliberasi menjadi penting. Pejabat negara perlu memberikan teladan dengan tindakan konkret menegakkan hukum, memeratakan ekonomi, menyediakan keyamanan hidup dengan jaminan keamanan, dan tentu saja menyejahterakan rakyatnya,” tutur Kang Said, demikian beliau biasa disapa.
Kang Said menilai, selama ini warga, atau dalam konsepsi keilmuan politik yang disebut civic belum begitu menampakkan hasil menjadi citizenship (kewarganegaraan). Penyebabnya adalah, masyarakat belum merasakan apa untungnya menjadi warga negara.
“Warga belum merasa memiliki kepemimpinan, bahkan sering belum merasa memiliki negara dalam artian yang melindungi, terlayani, dan hak-haknya di jamin. Moto kami melayani Anda itu masih label. Karena itulah warga Indonesia juga belum merasakan adanya civic-nationalism-nya. Kita merasakan menjadi bangsa paling-paling saat tim nasional sepakbola bertanding,” ujarnya tertawa.
Untuk itu, Kang Said menyatakan agar kewargaan (civic) harus diterapkan dalam konteks nilai esensial, bukan label.
“Dalam Islam misalnya, konsepsi muwatonah atau istilah akademiknya Civic-Islam misalnya, penting memilih jalur dengan menekankan nilai-nilai kemajuan dalam diri manusia, seperti kapasitas, profesionalitas, etos, etik, dan karakter. Nilai itu lebih penting dari pada label. Karena itu Civic-Islam juga harus menuju ke arah pembangunan manusia yang sadar sosial-politik dengan lepas label,” jelasnya.
Hal tersebut menurut Kang Said perlu ditekankan karena dalam ajaran Islam, urusan politik tidak detail membakukan secara eksak urusan-urusan kemasyarakatan.
“Islamnya penting sebagai nilai, identitas (Islam)-nya tidak penting. Karena itu, civic yang kita inginkan adalah civic yang bernafaskan kemajemukan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan dan meningkatkan derajat martabat hidup manusia yang manusia itu selalu menuju pada upaya untuk kemanusiaan dan rahmat semesta alam,” pungkasnya.
Faiz Manshur di situs civicislam pernah menulis, civic-Islam berarti sebuah konsepsi keilmuan yang berbicara tentang kewargaan terkait dengan nilai-nilai ideal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Civic-Islam berdiri di atas nilai tersebut. Ini selaras dengan tujuan esensial Islam yang selalu mengarah pada upaya perwujudan akhlak-karimah (etika luhur) dalam konteks subjek/manusia dan perwujudkan nilai luhur dalam kemasyarakatan bernama peradaban.
“Civic-Islam itu fokusnya untuk memperjuangkan status kewargaan-sosial (social citizenship), kewargaan-politik (political citizenship), dan kewargaan-ekonomi (economic citizenship) setiap subjek warganegara, di sebuah entitas negara demokratik,” kata AE Priyono, yang dikutip Manshur.
Menurut Manshur, pelaku Civic-Islam adalah muslim yang memiliki kapasitas deliberatif-partisipatoris, mampu mempolitisasi ruang-publik agar menjadi civic public-space, yang inklusif, pluralis, dan toleran, sekaligus yang mampu menanamkan nilai-nilai kebajikan (ethical-virtue).
“Civic-Islam di Indonesia itu sangat dibutuhkan untuk agenda menyelamatkan demokrasi. Jangan sampai demokrasi gagal sehingga warga, terutama umat Islam yang mayoritas itu terperosok pada kefrustasian sehingga berpikir pragmatis mengganti dasar negara, berpikir anti demokrasi karena demokrasi dianggap gagal. Itu tidak akan menyelesaikan masalah karena untuk mengganti negara itu tidak realistis, butuh proses panjang dan perdebatan pelik, bahkan butuh pengorbanan besar-besaran. Dan seandainya hanya menganti dasar negara, mengganti sistem politik belum tentu juga bisa menyelesaikan masalah secara cepat,” jelas Manshur.
Civic-Islam sejatinya berpikir dengan ilmiah dan realistis. “Kita mengakui kegagalan demokrasi di Indonesia secara kritis, yakni dengan jujur mengatakan demokrasi liberal itulah yang gagal. Demokrasi liberal hanya mendudukkan warga sebagai voters, persis dengan pemikiran kapitalis yang selalu ingin mendudukkan warga sebagai konsumen. Demokrasi liberal itu mengalami cacat karena tidak mampu menjadikan warga sebagai subjek yang aktif dalam politik. Politik liberal kita adalah politik yang sebatas membuat proyek pemilu. Setelah rakyat di suruh memilih, lantas dimarjinalkan dalam urusan publik.  Karena itu Civic-Islam bermaksud menjawab problem ini dengan cara memilih jalur demokrasi lain, yakni demokrasi republikan, selaras dengan prinsip “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dengan menekankan perjuangan kewargaan melalui partisipasi, emansipasi, dan deliberasi (musyawarah),” urai Manshur.
Dengan kata lain, gerakan Civic-Islam adalah perjuangan menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi, dan berdiri moderat di antara dua kutub ekstrim: neoliberalisme maupun fundamentalisme.
Di dalam ketatanegaraan dalam Alquran surat An-Nur Ayat 55 yang berbunyi :

Yang Artinya :
Allah telah berjanji pada orang-orang yang beriman dan beramal soleh, bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana ia telah menjadikan orang-orang  sebelum mereka berkuasa.

Dari keterangan ayat diatas dapat ditarik dua masalah fundamental :
1.    Islam menggunakan Khalifah sebagai kata kunci
2.    Kekuasaan untuk mengatur bumi. Mengelola negara dalam mesejahterakan masyarakat
Kata Khalifahan dan kekuasaan dengan sendirinya akan terkait dengan raja raja atau otoritas kekuasaan. Menurut Alquran, Kekhalifahan bukanlah hak istimewa individu kelas atau kelompok tertentu.
Melainkan hak kolektif yang mengakui kedaulatan mutlak tuhan atas diri mereka dan menjalankan hukum Tuhan yang disampaikan oleh Rasul.
Konsep Negara dilandasi oleh 3 dasar :
1.    Islam adalah agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia
2.    Kekuasaan tertinggi dalam istilah politik Islam adalah kedaulatan
3.    Sistem politik Islam adalah suatu sistem Universal yang tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografis bahasa dan kebangsaan
Al Qur’an Surat An nisa ayat 59


Yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman taatilah Rasulnya dan Ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasulnya (Al Sunnah). Jika kamu benar0benar beriman kepada Allah dan dihari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Qur’an Surat an nisa ayat 83


Yang Artinya : dan apabila mereka tertimpa suatu hal keamanan atau ketakutan, mereka siarkan (kepada musuh) dan kalau mereka serahkan hal itu kepada Rasul atau kepada Ulil amri (Yang mempunyai Utusan diantara kamu) niscaya orang-orang yang meneliti diantara mereka mengetahui hal itu.
            Diantara mufasir menafsirkan kata ulil amri pada ayat pertama dengan penguasaan kaum musllimin pada masa Rasul dan pada masa sesudah Rasul termasuk para Khalifah.
            Sedangkan kata uul amri pada ayat ke dua ditafsirkan dengan sahabat senior atau para pemimpin mereka. Akan tetapi menurut Ali Abdul Raziq. Tiada seorangpun yang menganggap kedua ayat tersebut sebagai dalil wajibnya mendirikan Khilafah/ Negara
            Dalam hal ini Al Raziq mengutif perkataan Isa Al-Masih yaitu : berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Ali Abdul Raziq mengakui bahwa nabi melakukan tindakan yang bisa dinilai sebagai pengatur politik.
Jika jihad (perjuangan dengan senjata) disamping alat dakwa juga diartikan sebagai cara untuk mengokohkan negara dan memperuas kerajaan, maka orang yang mengambil kesimpulan bahwa disamping sebagai Rasulullah. Nabi Muhammad juga sebagai penguasa politik.
            Menurut perilaku politik yang dilakukan Nabi adalah diluar tugasnya sebagai pembawa risalah. Kalau memang ternyata Nabi menjadi pemimpin politik maka hal itu timbul karena fenomena kebutuhan duniawi yang tidak ada sangkut pautnya risalah. Menurut kekuasaan Rasul atas bangsanya adalah kekuasaan Rohani (Keagaman dan Kedudukan yang sempurna selanjutnya dengan kedudukan fisik).
            Sedangkan kekuasaan politik adalah kekuasaan yang berdasarkan atas kekuaaan fisik tanpa ada kaitan dengan hati. Yang pertama kekuasaan memimpin dan menunjukkan jalan untuk menuju jalan Allah. Yang ke dua kekuasaan yang mengatur kemakmuran dan kebaikan kehidupan duniawi.
            Ali Abdul Razaq menunjukkan bahwa agama dan negara mempunyai peran tugas masing-masing serta antara Agama dan Negara tidak boleh disatukan dalam Sebuah lembaga.
Qur’an Surat An-Nisa ayat 58

Yang artinya : Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan dalil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha Melihat.
b.    Kaum Dzimi
Secara istilah, dzimmi (bahasa Arab: ذمي, majemuk: أهل الذمة, ahlul dzimmah, "orang-orang dzimmah") adalah orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam yang, sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, menerima perlindungan dan keamanan.[1]Hukum mengenai dzimmi berlaku di sebuah negara yang menjalankan Syariah Islam. Kata dzimmi sendiri berarti "perlindungan". Statusdzimmi mulai berlaku di daerah-daerah Islam dari Samudera Atlantik hingga India sejak zaman Muhammad pada abad ke-7 hingga zaman modern. Dari waktu ke waktu, banyak orang dzimmi yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka pindah agama secara sukarela, kecuali pada beberapa kasus pada abad ke-12, misalnya zaman kekuasaan Muwahidun di Afrika Utara dan Al-Andalus, serta pada masa kekuasaan Syiah di Persia.
Menurut Qur'an Surat At Taubah ayat 29,orang-orang dzimmi diharuskan membayar pajak yang disebut jizyah, dan tidak boleh diperangi oleh orang Islam. Orang-orang dzimmi yang membayar jizyah diperbolehkan menjalankan ibadah agama mereka, menerima otonomi komunal, harus dilindungi oleh umat Islam jika ada serangan dari luar, dibebaskan dari wajib militer, dibebaskan dari membayarzakat serta pajak-pajak yang dikenakan pada umat Islam.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.    Negara adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan masyarakat yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya. Sebuah negara biasanya dipimpin oleh yang namanya pemerintah. Pemerintah merupakan penguasa tertinggi dalam suatu wilayah yang disebut negara.
2.    Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang bebeda satu sama lain, namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.




DAFTAR PUSTAKA
Citra Karsa Mandiri 2002
                  Zaelani Sukaya, Endang. Pendidikan kewarganegaraan untuk perguruan tinggi Yogyakarta paradigma 2002.
Jakarta Kencana 2003
                  Kamal Pustaka Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Aducation) Yogyakarta.
                  Yusuf musa, politik dan Agama dalam Islma, Al ikhlas, Surabaya 1963 Djazuli, A. Persoalan dan ruang lingkup Fiqih Siyasah Dusturi.
                  Presiden Republik Indonesia 2006 Undang0Undnag Republik Indonesia No 12 tahun 2006 dalam Http:// www.inti:or.id/2011/09/26
ttps://hizbut-tahrir.or.id/.