MAKALAH
TIPE-TIPE DAN
KESULITAN BELAJAR
Dosen
Pengampu : Sukatin, S.Pd.I, M.Pd.I
DI
SUSUN OLEH :
KELOMPOK
XI
1. HARDIAN
2. ULANDARI
3. NETI RODIANI
SEMESTER III LOKAL PIAUD
A
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YPI)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
MUARA
BULIAN BATANGHARI
TAHUN
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidyahnya sehingga Kita dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Dalam
menyelesaikan makalah ini, kami berpegang teguh pada materi yang kami dapatkan
dari beberapa sumber buku. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah dengan dosen pembimbing Sukati, S.Pd.I., M.Pd.I
Dalam
hal ini kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan. Dengan kerendahan hati dan keterbatasan ilmu, maka kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi tersempurnanya
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Muara Bulian, Oktober 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Tipe-tipe Belajar................................................................................... 2
B.
Kesulitan Belajar.................................................................................. 4
C.
Perihal Anak Bermasalah.................................................................. 7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 13
B.
Saran................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar adalah kegiatan yang
berproses dan merupakan unsure yang sangat fundamental dalam setiap
penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. ini berarti bahwa berhasil atau
gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar
yang dialami siswa, baik ketika ia berada dalam sekolah maupun di lingkungan
rumah atau keluarga sendiri.
Pada masa sekarang ini banyak sekali
anak-anak mengalami kesulitan dalam belajar. Hal tersebut tidak hanya dialami
oleh siswa-siswa yang berkemampuan kurang saja. Hal tersebut juga dialami oleh
siswa-siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu, siswa yang berkemampuan
rata-rata juga mengalami kesulitan dalam belajar. Sedang yang namanya kesulitan
belajar itu merupakan kondisi proses belajar yang ditandai oleg
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai kesuksesan.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa saja Tipe- tipe Belajar?
b.
Apa itu kesulitan belajar?
c.
Apa saja Perihal Anak bermasalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tipe-tipe Belajar
Mengetahui pola belajar peserta
didik adalah modal bagai seorang guru untuk menentukan strategi pembelajaran.
Robert M. Gagne (1979) membedakan pola-pola belajar peserta didik ke dalam
delapan tipe, yang tiap tipe merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi
hierarkinya.
Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas
akan dijelaskan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut[1].
a.
Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Dalam tipe ini
terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk
berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara
serempak dan perangsang-perangsang
tertentu secara berulang kali. Signal learning. Contohnya yaitu seorang guru
yang memberikan isyarat kepada muridnya yang gaduh dengan bahasa tubuh tangan
diangkat kemudian diturunkan.
b.
Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar
Stimulus-respon)
Proses belajar
bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang
diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement.
Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Contohnya yaitu
seorang guru memberikan suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang sesuatu
yang kemudian ditanggapi oleh muridnya. Guru member pertanyaan kemudian murid
menjawab.
c.
Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chaining adalah
belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimulus-Respons) yang satu dengan
yang lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara
lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola
S-R, baik psikomotorik maupun verbal.
Contohnya yaitu
pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan
untuk mencapai tujuannya. Chaining terjadi bila terbentuk hubungan antara
beberapa S-R, sebab yang terjadi segera setelah yang satu lagi.
d.
Belajar Tipe 4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Tipe ini
merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang berupa
benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang
tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan bntuan
alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
e.
Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar
Diskriminasi)
Discrimination
learning atau belajar membedakan. Tipe ini peserta didik mengadakan seleksi dan
pengujian di antara perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya,
kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Contoh: Guru
mengenal peserta didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan
diskriminasi di antara anak itu.
f.
Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning
adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari
sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau
konsep. Kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi
dan proses kognitif fundamental sebelumnya.
Misalnya kita
dapat menyuruh peserta didik dengan perintah: “Ambilkan botol yang di tengah! ”
Untuk mempelajari suatu konsep, peserta didik harus mengalami berbagai situasi dengan
stimulus tertentu. Untuk itu, ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk
membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar
konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
g.
Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Rule learning
belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini peserta didik
belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan
kaidah-kaidah logika formal (induktif, dedukatif, sintesis, asosiasi,
diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga peserta didik dapat menemukan
konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dipandang sebagai “rule “: prinsip,
dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.
h.
Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving
adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para peserta didik belajar
merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang
menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan
berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Contohnya yaitu seorang guru memberikan
kasus atau permasalahan kepada siswa-siswanya untuk memancing otak mereka
mencari jawaban atau penyelesaian dari masalah tersebut.
B. Kesulitan Belajar
1.
Kesulitan belajar[2]
Kesulitan belajar
menurut Hammil (Abidin,2006:10) adalah: “menunjuk pada sekelompok kesulitan
yang memanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan
penggunaan kemampuan mendengar, mencakup-cakup,membaca, menulis, menalar, atau
kemampuan dalam bidang studi tertentu.
Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan
individual ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar
dikalangan anak didik. “Dalam keadaan di mana anak didik / siswa tidak dapat
belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan “kesulitan belajar”.
Macam-macam kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan
menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
a.
Dilihat dari jenis kesulitan belajar.
1)
Ada yang berat,
2)
Ada yang sedang,
b.
Dilihat dari bidang studi yang di pelajari.
1)
Ada yang sebagian bidang studi, dan
2)
Ada yang keseluruhan bidang studi.
c.
Dilihat dari sifat kesulitannya.
1)
Ada yang sifatnya permanen / menetap, dan
2)
Ada yang sifatnya hanya sementara.
d.
Dilihat dari segi faktor penyebabnya.
1)
Ada yang karena faktor intelegensi, dan
2)
Ada yang karena faktor non-intelegensi.
2.
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar.
Fenomena
kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja
akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat di
buktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti
kesukaan berteriak-teriak didalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering
tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis
besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua
macam, yakni[3]:
a.
Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan
yang muncul dari dalam diri siswa sendiri meliputi:
1)
Faktor fisiologis.
2)
Faktor psikologis.
b.
Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan
yang datang dari luar diri siswa meliputi:
1)
Faktor-faktor non-sosial.
2)
Faktor-faktor sosial.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan
yang antara lain tersebut di bawah ini.
a.
Faktor intern siswa
Faktor intern
siswa meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisik siswa, yakni:
1)
Sebab yang bersifat fisik:
a)
Karena sakit
Seorang yang
sakit akan mengalami kelemahan fisiknya, sehingga saraf sensoris dan motorisnya
lemah. Akibatnya rangsangan yang diterima melalui inderanya tidak dapat
diteruskan ke otak. Lebih-lebih sakitnya lama, sarafnya akan bertambah lemah,
sehingga ia tidak dapat masuk sekolah untuk beberapa hari, yang mengakibatkan
ia tertinggal jauh dalam pelajaran.
b)
Karena kurang sehat
Anak yang kurang
sehat dapat mengalami kesulitan belajar, sebab ia mudah capek, mengantuk,
pusing, daya konsentrasinya hilang kurang semangat, pikiran terganggu. Karena
hal-hal ini maka penerimaan dan respons pelajaran berkurang, saraf otak tidak
mampu bekerja secara optimal memproses, mengelola, menginterprestasi dan
mengorganisasi bahan pelajaran melalui indranya.
c)
Sebab karena cacat tubuh
Cacat tubuh dibedakan atas:
·
Cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran,
kurang penglihatan, gangguan psikomotor.
·
Cacat tubuh yang tetap seperti buta, tuli, bisu hilang
tangannya dan kakinya.
2)
Sebab–sebab kesulitan belajar karena rohani.
Belajar
memerlukan kesiapan rohani, ketenangan dengan baik. Jika hal-hal di atas ada
pada diri anak maka belajar sulit dapat masuk.
Apa bila dirinci
faktor rohani itu meliputi antara lain berikut ini.
a.
Intelegensi
b.
Bakat
c.
Minat
d.
Motivasi
e.
Faktor kesehatan mental
f.
Tipe-tipe khusus seorang pelajar (visual, motoris, dan
campuran).
b.
Faktor ekstern siswa
Faktor ekstern
siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak
mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor lingkungan ini meliputi:
1.
Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubunga
antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2.
Lingkungan perkampungan / masyrakat, contohnya : wilayah
perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3.
Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung
sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang
berkualitas rendah.
C. Perihal Anak Bermasalah
1.
Defenisi Anak Bermasalah
Seorang siswa dikategorikan
sebagai anak bermasalah apabila ia menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari
perilaku yang lazim dilakukan oleh anak-anak pada umumnya.
Penyimpangan
perilaku ada yang sederhana ada juga yang ekstrim. Penyimpangan perilaku yang
sederhana semisal : mengantuk, suka menyendiri, kadang terlambat datang,
sedangkan ekstrim ialah semisal : sering membolos, memeras teman-temannya,
ataupun tidak sopan kepada orang lain juga kepada gurunya.
2.
Sebab-Sebab Bermasalah
Banyak orang yang
berpandangan bahwa apa yang ada adalah merupakan suatu aksi yang akan
menimbulkan reaksi. Bahwa apa yang terjadi pada para siswa adalah semata-mata
perilaku mereka sendiri yanglepas dari latar belakang yang menyebabkannya.
Seorang anak atau
siswa yang mengantuk di dalam kelas misalnya, hal ini sering diterima sebagai
kemalasan murid yang terpuji. Padahal pada hakikatnya tidaklah selamanya
demikian. Seorang murid terpaksa mengantuk dalam kelas bisa jadi kareka
kelelahan dari semalam bekerja membantu orang tuanya.
Secara garis besar
pangkal soal masalah-masalah siswa dapat dikelompokkan menjadi dua : Internal
dan Eksternal
a.
Internal
Sebab-sebab
internal ialah sebab-sebab yang berpangkal dari kondisi si murid itu sendiri.
Hal ini bisa bermula dari adanya kelainan fisik maupun kelainan psikis.
a)
Kelainan fisik
Anak-anak yang
menderita kelainan fisik akan merasa tertolak untuk hadir ditengah-tengah
temannya yang normal. Sebagai contoh si Udin yang terlalu gemuk akan jadi bahan
ejekan teman-temannya. Hal ini membuatnya merasa tak aman untuk hadir
ditengah-tengah temannya.
Kelainan fisik
amatlah banyak bentuknya. Diantaranya ialah buta, bermata satu, bisu tuli, kaki
kecil satu atau bahkan lumpuh total.
Agar mereka tidak
tersisihkan diantara teman-temannya yang normal, maka demi masa depannya negara
menyelenggarakan pendidikan yang khusus buat mereka.
b)
Kelainan psikis
Yang dimaksud
dengan kelainan psikis ialah kelainan yang terjadi pada kemampuan brpikir
(kecerdasan) seorang anak. Kelainan ini baik secara inferior (lemah) maupun
suferior(kuat).
Tak dapat
dipungkiri bahwa anak-anak memang memiliki taraf kecerdasan (IQ) yang
berbeda-beda. Kelainan inferior dalam kecerdasan meliputi : ideot, embisil,
debil, border line, dan bodoh. Anak-anak seperti ini akan sangat tersiksa bila
dikumpulkan dalam suatu kelas dengan anak-anak yang superior. Begitu juga
sebaliknya, orang genius akan merasa tertekan apabila disatu ruangkan dengan
anak-anak yang inferior.
Alternatif
terbaik untuk mereka adalah dengan mengumpulkan mereka pada satu kelas
tersendiri bahkan satu sekolah khusus yang mendidik mereka.
Kelainan psikis
lainnya :
a)
Anak-anak yang tegang
Sering kita
melihat anak-anak yang tingkah lakunya mengimplikasikan penyaluran ketegangan
jiwanya atau usaha pengendoran dari ketegangan. Gejala-gejala yang sering
tampak biasanya berwujud tingkah laku tidak tenang, gerak-gerik yang tidak
lancar, pandangan mata yang menunjukkan ketidak bahagiaan (kesedihan),
menggigit-gigit pensil, menghisap ibu jari dan menggigit kuku.
Guru atau orang
tua perlu meluangkan waktunya khusus untuk mengetahui mengapa anak tersebut
melakukan yang demikian. Apakah ada kemungkinan anak itu mempunyai masalah yang
terpecahkan ? Apakah ada kekecewaan yang dialami anak, baik ditinjau dari segi
pemenuhan kebutuhan jasmaniah atau kejiwaan. Bahaya atau sebabnya masih baru
diketemukan, dan untuk mendorongnya maka masalahnya perlu dihadapi oleh anak
maupun pendidik. Agar dapat dicari jalan keluar sebaik-baiknya.
b)
Anak yang agresif
Anak yang selalu
mengganggu di kelas tentu mempunyai masalah sendiri. Sebelum kita dapat
mengadakan langkah-langkah pertolongan terhadap anak tersebut, sebaiknya
diketahui sebab-sebab mengapa anak itu bersifat agresif ? Sifat agresif sering
disebabkan oleh : perlakuan orang tua, kompetisi, iri antara kakak beradik, kondisi
di dalam rumah atau sekolah. Dan sebagai faktor yang lebih dasar ialah adanya
kebutuhan pokok anak, yaitu kebutuhan akan kasih sayang, penghargaan, pengakuan
yang tidak terpenuhi dengan semestinya.
Tindakan menolong
perlu dilatar belakangi pemahaman tentang keadaan dan kebutuhan kejiwaan anak,
dilaksanakan dengan hati-hati, dengan sikap dan tindakan yang dipikirkan secara
masak dengan mempertimbangkan persoalan dan tujuan yang ingin dicapai maupun
akibat dari pertolongan ini.
c)
Anak yang pemalu dan menyendiri
Sebab-sebab anak
berperangai demikian ialah [4]:
·
Sebab-sebab jasmaniah : kekurangan daya tahan,
penglihatan atau pendengaran kurang baik.
·
Perwujudan bentuk tubuh atau roman muka kurang menarik,
pakaian tidak dapat menyamai atau mengikuti teman lain atau mode, dan
lain-lain.
·
Kemampuan dan keterampilan intelegensi (kecerdasan)
ketinggalan atau tidak dapat menyamai teman-teman sekelasnya.
·
Kegagalan yang terus-menerus, tidak disertai dengan
keberhasilan.
·
Tidak memiliki keterampilan-keterampilan tertentu yang dapat
menarik penghargaan teman-teman sebayanya.
·
Guru yang keras dan meminta atau menuntut terlalu banyak.
·
Mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang
diperlakukan berbeda dengan kita. Sebab-sebab eksternal ialah sebab-sebab yang
hadir dari luar si murid, terdiri dari :
a)
Keluarga
Lingkungan
keluarga adalah lingkungan yang pertama kali oleh anak. Di dalam keluarga anak
mulai tumbuh sejak lahir. Pada waktu kecil inilah adanya apa yang disebut Media
Montessori sebagai masa peka, sedangkan Dr. Zakiah Darodjat memberikan istilah
adanya persepsi dasar.
Orang tua yang
otoriter akan memperlakukan anak-anaknya secara otoriter. Perlakuan ini akan
berkesan dalam jiwa anak sebagai persepsi dasar. Sebagai kelanjutannya ialah
bahwa anak tersebut akan tumbuh dan berkembang sebagai anak yang otoriter dan
keras kepala.
b)
Pergaulan
Lingkungan kedua
yang dikenal oleh anak adalah lingkungan masyarakat atau lingkungan pergaulan
anak-anak yang telah didik baik oleh orang tuanya.
Seorang anak yang
dididik untuk jujur akan merasa jengkel jika ternyata teman-temannya suka
berbohong. Dia dihadapkan pada dua pilihan, jujur sesuai dengan dididikan orang
tua tapi tak diterima oleh kelompok atau ikut berbohong agar diterima oleh
kelompok meskipun bertentangan dengan batinnya.
Lingkungan
pergaulan juga mempunyai andil yang sangat berarti bagi perkembangan psikis
anak. Jika lingkungan baik anak cenderung menjadi baik. Jika, lingkungan jelek
anakpun ada kecenderungan ikut jelek.
c)
Pengalaman hidup
Pepatah
mengatakan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Pepatah ini mengajarkan
bahwa, pengalaman-pengalaman masa lalu tak akan pernah hilang. Semuanya
tersimpan rapi dalam ruang ingatan.
Anak-anak yang
bodoh sering tak diperhatikan oleh gurunya. Suatu saat dia membuat keonaran dan
ternyata dengan cara itu ia diperhatikan oleh gurunya. Tetapi, hakikatnya dia
juga tak menyukai keonaran itu tapi apa boleh buat. Karena hanya itulah
satu-satunya cara yang ia tempuh untuk menarik perhatian gurunya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pola belajar peserta didik adalah modal bagai seorang
guru untuk menentukan strategi pembelajaran. Robert M. Gagne (1979) membedakan
pola-pola belajar peserta didik ke dalam delapan tipe, yang terdiri dari Signal
Learning (Belajar Isyarat), Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus-respon),
Chaining (Rantai atau Rangkaian), Verbal Association (Asosiasi Verbal), Discrimination
Learning (Belajar Diskriminasi), Concept Learning (Belajar Konsep), Rule
Learning (Belajar Aturan), Problem Solving (Pemecahan Masalah).
2.
Kesulitan belajar adalah: “menunjuk pada sekelompok
kesulitan yang memanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam
kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengar, mencakup-cakup,membaca, menulis,
menalar, atau kemampuan dalam bidang studi tertentu.
3.
Seorang siswa dikategorikan sebagai anak bermasalah
apabila ia menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim
dilakukan oleh anak-anak pada umumnya.
B. Saran
1.
Sebagai seorang guru kita harus memilih tipe belajar
untuk anak, agar anak lebih mudah mengerti dan guru pun menjadi akrab dengan
anak.
2.
Kesulitan siswa dalam belajar merupakan suatu hal yang
sering ditemui oleh guru. Dalam hal ini pendidik di sekolah dan orang tua di
rumah dituntut untuk mengerti jenis masalah yang dihadapi oleh siswa atau anak.
3.
Dengan memahami jenis masalah, diharapkan pendidik mampu
memberikan solusi penanggulangan sesuai dengan masalah yang bersangkutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar: Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
Aunur Rahman, Belajar
dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012)
Muhammad Dalyono, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012).
Muhibbin Syah, Psikologi
Belajar (Jakarta: Rajawali Pers,2012)
[4] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,
Psikologi Belajar: Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2008). Hal 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar