Selasa, 08 Mei 2018

MAKALAH TIPE-TIPE KESULITAN BELAJAR

MAKALAH
TIPE-TIPE DAN KESULITAN BELAJAR

Dosen Pengampu : Sukatin, S.Pd.I, M.Pd.I
LOGO STAI.jpg

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK XI

1.    HARDIAN
2.    ULANDARI
3.    NETI RODIANI


SEMESTER III LOKAL PIAUD A


                                                                 

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YPI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
MUARA BULIAN BATANGHARI

TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidyahnya sehingga Kita dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami berpegang teguh pada materi yang kami dapatkan dari beberapa sumber buku. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi  tugas mata kuliah dengan dosen pembimbing Sukati, S.Pd.I., M.Pd.I
Dalam hal ini kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Dengan kerendahan hati dan keterbatasan ilmu, maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi tersempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Muara Bulian,   Oktober 2017


Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang..................................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.   Tipe-tipe Belajar................................................................................... 2
B.   Kesulitan Belajar.................................................................................. 4
C.   Perihal Anak Bermasalah.................................................................. 7
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan........................................................................................ 13
B.   Saran................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsure yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada dalam sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri.
Pada masa sekarang ini banyak sekali anak-anak mengalami kesulitan dalam belajar. Hal tersebut tidak hanya dialami oleh siswa-siswa yang berkemampuan kurang saja. Hal tersebut juga dialami oleh siswa-siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu, siswa yang berkemampuan rata-rata juga mengalami kesulitan dalam belajar. Sedang yang namanya kesulitan belajar itu merupakan kondisi proses belajar yang ditandai oleg hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai kesuksesan.

B.   Rumusan Masalah
a.    Apa saja Tipe- tipe Belajar?
b.    Apa itu kesulitan belajar?
c.    Apa saja Perihal Anak bermasalah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Tipe-tipe Belajar
Mengetahui pola belajar peserta didik adalah modal bagai seorang guru untuk menentukan strategi pembelajaran. Robert M. Gagne (1979) membedakan pola-pola belajar peserta didik ke dalam delapan tipe, yang tiap tipe merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya.
Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan dijelaskan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut[1].
a.    Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak dan  perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning. Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan isyarat kepada muridnya yang gaduh dengan bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.
b.    Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus­-respon)
Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Contohnya yaitu seorang guru memberikan suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya. Guru member pertanyaan kemudian murid menjawab.
c.    Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimu­lus-Respons) yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal.
Contohnya yaitu pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan untuk mencapai tujuannya. Chain­ing terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang terjadi segera setelah yang satu lagi.
d.    Belajar Tipe 4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Tipe ini merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan bntuan alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
e.    Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar membedakan. Tipe ini peserta didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara­ perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Contoh: Guru mengenal peserta didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak itu.
f.     Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep. Kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamen­tal sebelumnya.
Misalnya kita dapat menyuruh peserta didik dengan perintah: “Ambilkan botol yang di tengah! ” Untuk mempelajari suatu konsep, peserta didik harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Untuk itu, ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.

g.    Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini peserta didik belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, dedukatif, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga peserta didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dipandang sebagai “rule “: prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.
h.    Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para peserta didik belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Contohnya yaitu seorang guru memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-siswanya untuk memancing otak mereka mencari jawaban atau penyelesaian dari masalah tersebut.

B.   Kesulitan Belajar
1.    Kesulitan belajar[2]
Kesulitan belajar menurut Hammil (Abidin,2006:10) adalah: “menunjuk pada sekelompok kesulitan yang memanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengar, mencakup-cakup,membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi tertentu.
Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan individual ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar dikalangan anak didik. “Dalam keadaan di mana anak didik / siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan “kesulitan belajar”.
Macam-macam kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
a.       Dilihat dari jenis kesulitan belajar.
1)   Ada yang berat,
2)   Ada yang sedang,
b.       Dilihat dari bidang studi yang di pelajari.
1)   Ada yang sebagian bidang studi, dan
2)   Ada yang keseluruhan bidang studi.
c.       Dilihat dari sifat kesulitannya.
1)   Ada yang sifatnya permanen / menetap, dan
2)   Ada yang sifatnya hanya sementara.
d.       Dilihat dari segi faktor penyebabnya.
1)   Ada yang karena faktor intelegensi, dan
2)   Ada yang karena faktor non-intelegensi.
2.    Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar.
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat di buktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak didalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yakni[3]:
a.    Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri meliputi:
1)      Faktor fisiologis.
2)      Faktor psikologis.
b.    Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa meliputi:
1)       Faktor-faktor non-sosial.
2)       Faktor-faktor sosial.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut di bawah ini.
a.    Faktor intern siswa
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisik siswa, yakni:
1)   Sebab yang bersifat fisik:
a)   Karena sakit
Seorang yang sakit akan mengalami kelemahan fisiknya, sehingga saraf sensoris dan motorisnya lemah. Akibatnya rangsangan yang diterima melalui inderanya tidak dapat diteruskan ke otak. Lebih-lebih sakitnya lama, sarafnya akan bertambah lemah, sehingga ia tidak dapat masuk sekolah untuk beberapa hari, yang mengakibatkan ia tertinggal jauh dalam pelajaran.
b)   Karena kurang sehat
Anak yang kurang sehat dapat mengalami kesulitan belajar, sebab ia mudah capek, mengantuk, pusing, daya konsentrasinya hilang kurang semangat, pikiran terganggu. Karena hal-hal ini maka penerimaan dan respons pelajaran berkurang, saraf otak tidak mampu bekerja secara optimal memproses, mengelola, menginterprestasi dan mengorganisasi bahan pelajaran melalui indranya.
c)    Sebab karena cacat tubuh
Cacat tubuh dibedakan atas:
·         Cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, gangguan psikomotor.
·         Cacat tubuh yang tetap seperti buta, tuli, bisu hilang tangannya dan kakinya.

2)   Sebab–sebab kesulitan belajar karena rohani.
Belajar memerlukan kesiapan rohani, ketenangan dengan baik. Jika hal-hal di atas ada pada diri anak maka belajar sulit dapat masuk.
Apa bila dirinci faktor rohani itu meliputi antara lain berikut ini.
a.    Intelegensi
b.    Bakat
c.    Minat
d.    Motivasi
e.    Faktor kesehatan mental
f.     Tipe-tipe khusus seorang pelajar (visual, motoris, dan campuran).
b.    Faktor ekstern siswa
Faktor ekstern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor lingkungan ini meliputi:
1.    Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubunga antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2.    Lingkungan perkampungan / masyrakat, contohnya : wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3.    Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang berkualitas rendah.
C.   Perihal Anak Bermasalah
1.    Defenisi Anak Bermasalah
Seorang siswa dikategorikan sebagai anak bermasalah apabila ia menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim dilakukan oleh anak-anak pada umumnya.
Penyimpangan perilaku ada yang sederhana ada juga yang ekstrim. Penyimpangan perilaku yang sederhana semisal : mengantuk, suka menyendiri, kadang terlambat datang, sedangkan ekstrim ialah semisal : sering membolos, memeras teman-temannya, ataupun tidak sopan kepada orang lain juga kepada gurunya.
2.    Sebab-Sebab Bermasalah
Banyak orang yang berpandangan bahwa apa yang ada adalah merupakan suatu aksi yang akan menimbulkan reaksi. Bahwa apa yang terjadi pada para siswa adalah semata-mata perilaku mereka sendiri yanglepas dari latar belakang yang menyebabkannya.
Seorang anak atau siswa yang mengantuk di dalam kelas misalnya, hal ini sering diterima sebagai kemalasan murid yang terpuji. Padahal pada hakikatnya tidaklah selamanya demikian. Seorang murid terpaksa mengantuk dalam kelas bisa jadi kareka kelelahan dari semalam bekerja membantu orang tuanya.
Secara garis besar pangkal soal masalah-masalah siswa dapat dikelompokkan menjadi dua : Internal dan Eksternal
a.    Internal
Sebab-sebab internal ialah sebab-sebab yang berpangkal dari kondisi si murid itu sendiri. Hal ini bisa bermula dari adanya kelainan fisik maupun kelainan psikis.
a)         Kelainan fisik
Anak-anak yang menderita kelainan fisik akan merasa tertolak untuk hadir ditengah-tengah temannya yang normal. Sebagai contoh si Udin yang terlalu gemuk akan jadi bahan ejekan teman-temannya. Hal ini membuatnya merasa tak aman untuk hadir ditengah-tengah temannya.
Kelainan fisik amatlah banyak bentuknya. Diantaranya ialah buta, bermata satu, bisu tuli, kaki kecil satu atau bahkan lumpuh total.
Agar mereka tidak tersisihkan diantara teman-temannya yang normal, maka demi masa depannya negara menyelenggarakan pendidikan yang khusus buat mereka.
b)         Kelainan psikis
Yang dimaksud dengan kelainan psikis ialah kelainan yang terjadi pada kemampuan brpikir (kecerdasan) seorang anak. Kelainan ini baik secara inferior (lemah) maupun suferior(kuat).
Tak dapat dipungkiri bahwa anak-anak memang memiliki taraf kecerdasan (IQ) yang berbeda-beda. Kelainan inferior dalam kecerdasan meliputi : ideot, embisil, debil, border line, dan bodoh. Anak-anak seperti ini akan sangat tersiksa bila dikumpulkan dalam suatu kelas dengan anak-anak yang superior. Begitu juga sebaliknya, orang genius akan merasa tertekan apabila disatu ruangkan dengan anak-anak yang inferior.
Alternatif terbaik untuk mereka adalah dengan mengumpulkan mereka pada satu kelas tersendiri bahkan satu sekolah khusus yang mendidik mereka.
Kelainan psikis lainnya :
a)         Anak-anak yang tegang
Sering kita melihat anak-anak yang tingkah lakunya mengimplikasikan penyaluran ketegangan jiwanya atau usaha pengendoran dari ketegangan. Gejala-gejala yang sering tampak biasanya berwujud tingkah laku tidak tenang, gerak-gerik yang tidak lancar, pandangan mata yang menunjukkan ketidak bahagiaan (kesedihan), menggigit-gigit pensil, menghisap ibu jari dan menggigit kuku.
Guru atau orang tua perlu meluangkan waktunya khusus untuk mengetahui mengapa anak tersebut melakukan yang demikian. Apakah ada kemungkinan anak itu mempunyai masalah yang terpecahkan ? Apakah ada kekecewaan yang dialami anak, baik ditinjau dari segi pemenuhan kebutuhan jasmaniah atau kejiwaan. Bahaya atau sebabnya masih baru diketemukan, dan untuk mendorongnya maka masalahnya perlu dihadapi oleh anak maupun pendidik. Agar dapat dicari jalan keluar sebaik-baiknya.
b)         Anak yang agresif
Anak yang selalu mengganggu di kelas tentu mempunyai masalah sendiri. Sebelum kita dapat mengadakan langkah-langkah pertolongan terhadap anak tersebut, sebaiknya diketahui sebab-sebab mengapa anak itu bersifat agresif ? Sifat agresif sering disebabkan oleh : perlakuan orang tua, kompetisi, iri antara kakak beradik, kondisi di dalam rumah atau sekolah. Dan sebagai faktor yang lebih dasar ialah adanya kebutuhan pokok anak, yaitu kebutuhan akan kasih sayang, penghargaan, pengakuan yang tidak terpenuhi dengan semestinya.
Tindakan menolong perlu dilatar belakangi pemahaman tentang keadaan dan kebutuhan kejiwaan anak, dilaksanakan dengan hati-hati, dengan sikap dan tindakan yang dipikirkan secara masak dengan mempertimbangkan persoalan dan tujuan yang ingin dicapai maupun akibat dari pertolongan ini.
c)         Anak yang pemalu dan menyendiri
Sebab-sebab anak berperangai demikian ialah [4]:
·         Sebab-sebab jasmaniah : kekurangan daya tahan, penglihatan atau pendengaran kurang baik.
·         Perwujudan bentuk tubuh atau roman muka kurang menarik, pakaian tidak dapat menyamai atau mengikuti teman lain atau mode, dan lain-lain.
·         Kemampuan dan keterampilan intelegensi (kecerdasan) ketinggalan atau tidak dapat menyamai teman-teman sekelasnya.
·         Kegagalan yang terus-menerus, tidak disertai dengan keberhasilan.
·         Tidak memiliki keterampilan-keterampilan tertentu yang dapat menarik penghargaan teman-teman sebayanya.
·         Guru yang keras dan meminta atau menuntut terlalu banyak.
·         Mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang diperlakukan berbeda dengan kita. Sebab-sebab eksternal ialah sebab-sebab yang hadir dari luar si murid, terdiri dari :
a)         Keluarga
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali oleh anak. Di dalam keluarga anak mulai tumbuh sejak lahir. Pada waktu kecil inilah adanya apa yang disebut Media Montessori sebagai masa peka, sedangkan Dr. Zakiah Darodjat memberikan istilah adanya persepsi dasar.
Orang tua yang otoriter akan memperlakukan anak-anaknya secara otoriter. Perlakuan ini akan berkesan dalam jiwa anak sebagai persepsi dasar. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa anak tersebut akan tumbuh dan berkembang sebagai anak yang otoriter dan keras kepala.
b)        Pergaulan
Lingkungan kedua yang dikenal oleh anak adalah lingkungan masyarakat atau lingkungan pergaulan anak-anak yang telah didik baik oleh orang tuanya.
Seorang anak yang dididik untuk jujur akan merasa jengkel jika ternyata teman-temannya suka berbohong. Dia dihadapkan pada dua pilihan, jujur sesuai dengan dididikan orang tua tapi tak diterima oleh kelompok atau ikut berbohong agar diterima oleh kelompok meskipun bertentangan dengan batinnya.
Lingkungan pergaulan juga mempunyai andil yang sangat berarti bagi perkembangan psikis anak. Jika lingkungan baik anak cenderung menjadi baik. Jika, lingkungan jelek anakpun ada kecenderungan ikut jelek.
c)         Pengalaman hidup
Pepatah mengatakan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Pepatah ini mengajarkan bahwa, pengalaman-pengalaman masa lalu tak akan pernah hilang. Semuanya tersimpan rapi dalam ruang ingatan.
Anak-anak yang bodoh sering tak diperhatikan oleh gurunya. Suatu saat dia membuat keonaran dan ternyata dengan cara itu ia diperhatikan oleh gurunya. Tetapi, hakikatnya dia juga tak menyukai keonaran itu tapi apa boleh buat. Karena hanya itulah satu-satunya cara yang ia tempuh untuk menarik perhatian gurunya.




BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1.    Pola belajar peserta didik adalah modal bagai seorang guru untuk menentukan strategi pembelajaran. Robert M. Gagne (1979) membedakan pola-pola belajar peserta didik ke dalam delapan tipe, yang terdiri dari Signal Learning (Belajar Isyarat), Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus­-respon), Chaining (Rantai atau Rangkaian), Verbal Association (Asosiasi Verbal), Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi), Concept Learning (Belajar Konsep), Rule Learning (Belajar Aturan), Problem Solving (Pemecahan Masalah).
2.    Kesulitan belajar adalah: “menunjuk pada sekelompok kesulitan yang memanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengar, mencakup-cakup,membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi tertentu.
3.    Seorang siswa dikategorikan sebagai anak bermasalah apabila ia menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim dilakukan oleh anak-anak pada umumnya.

B.   Saran
1.    Sebagai seorang guru kita harus memilih tipe belajar untuk anak, agar anak lebih mudah mengerti dan guru pun menjadi akrab dengan anak.
2.    Kesulitan siswa dalam belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh guru. Dalam hal ini pendidik di sekolah dan orang tua di rumah dituntut untuk mengerti jenis masalah yang dihadapi oleh siswa atau anak.
3.    Dengan memahami jenis masalah, diharapkan pendidik mampu memberikan solusi penanggulangan sesuai dengan masalah yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar: Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
Aunur Rahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012)
Muhammad Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012).
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rajawali Pers,2012)


[1] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rajawali Pers,2012). Hal 112
[2] Aunur Rahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012). Hal 54
[3] Muhammad Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012). Hal 81
[4] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar: Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2008). Hal 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar